Catherine dari Aragon: Ratu yang Teguh dalam Keyakinan di Tengah Badai Politik Tudor
Catherine dari Aragon tetap bersinar sebagai sosok ratu yang tangguh, berwibawa, dan dihormati hingga akhir hayatnya. Sebagai istri pertama Raja Henry VIII, Catherine memainkan peran kunci dalam sejarah Inggris, bukan hanya karena statusnya sebagai ratu, tetapi juga karena keteguhannya dalam mempertahankan martabat dan keyakinannya ketika dihadapkan pada tekanan politik dan pribadi yang luar biasa.
Lahir di Alcalá de Henares, Spanyol, pada tahun 1485, Catherine adalah putri Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella I dari Kastilia — pasangan raja legendaris yang menyatukan Spanyol dan mensponsori pelayaran Christopher Columbus. Dibesarkan dalam lingkungan kerajaan yang religius dan intelektual, Catherine tiba di Inggris pada usia 16 tahun untuk menikah dengan Pangeran Arthur, pewaris takhta Inggris.
Namun, pernikahan itu singkat. Arthur meninggal hanya beberapa bulan kemudian, dan Catherine menjadi janda muda yang terdampar dalam ketidakpastian politik. Bertahun-tahun kemudian, ia akhirnya menikah dengan adik Arthur, Henry VIII, yang baru naik takhta pada 1509. Pernikahan mereka pada awalnya tampak harmonis, dan Catherine dinobatkan sebagai Ratu Inggris.
Baca Juga : Michael Palin Dari Komedian Monty Python ke Penjelajah Dunia yang Menginspirasi
Catherine dikenal sebagai ratu yang cerdas, saleh, dan berpendidikan tinggi. Ia fasih dalam bahasa Latin dan aktif dalam urusan pemerintahan. Bahkan, saat Henry memimpin perang di Prancis, Catherine ditunjuk sebagai pemangku takhta sementara, menunjukkan kemampuannya dalam politik dan diplomasi. Ia juga menunjukkan kepedulian besar terhadap rakyat kecil dan pendidikan, serta merupakan pelindung dari para humanis seperti Erasmus.
Namun, hubungan rumah tangganya mulai goyah seiring dengan kegagalannya melahirkan ahli waris laki-laki. Satu-satunya anak mereka yang bertahan hidup adalah Putri Mary (kemudian dikenal sebagai Mary I). Keinginan Henry untuk mendapatkan penerus laki-laki memuncak dalam permohonannya kepada Paus untuk membatalkan pernikahan mereka — dengan alasan bahwa pernikahan Catherine sebelumnya dengan Arthur membuat hubungan mereka tidak sah di mata gereja.
Catherine, yang sangat religius dan yakin akan keabsahan pernikahannya, menolak mundur. Dalam sidang pengadilan yang digelar tahun 1529, ia tampil di depan umum dan menyampaikan pidato emosional yang membela kehormatannya, menyatakan bahwa ia adalah istri sah raja dan belum pernah menjadi istri Arthur “dalam arti sebenarnya.” Ia menolak menceraikan Henry, meski ditekan oleh istana dan Vatikan.
Keteguhannya inilah yang mendorong krisis gerejawi besar: pemisahan Gereja Inggris dari Roma. Henry VIII akhirnya menikahi Anne Boleyn dan menceraikan Catherine tanpa persetujuan Paus, memicu reformasi agama yang mengguncang Eropa.
Catherine diasingkan dari istana dan hidup dalam kesederhanaan hingga wafatnya pada tahun 1536. Ia tetap menyebut dirinya “ratu sejati” dan setia pada Gereja Katolik hingga akhir hayatnya. Dalam surat terakhirnya kepada Henry, ia masih menyatakan kasih sayangnya dan mendoakan keselamatannya — sebuah tanda kedalaman moral dan keluhuran pribadinya.
Kini, Catherine dari Aragon dikenang bukan hanya sebagai istri raja, tetapi sebagai wanita kuat yang mempertahankan martabat dan keyakinannya dalam menghadapi pengkhianatan dan tekanan politik. Ia menjadi simbol keberanian perempuan dalam sejarah — suara yang tidak pernah benar-benar dibungkam, bahkan oleh sejarah itu sendiri.
